Lokakarya Pemerintah Bawah Tanah Bersama MRT Jakarta
Struktur bawah tanah bagi sistem MRT harus mempertimbangkan potensi penggunaan tanah, otoritas kepemilikan lahan untuk kepentingan publik, dan menjamin keberlanjutan aspek komersil, itulah yang disebutkan Danang Parikesit, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia saat menjadi pembicara lokakarya.
Ya, hari ini saya berkesempatan mengikuti acara lokakarya yang diadakan oleh PT MRT Jakarta. Workshop yang mengusung tema Pemerintah Bawah Tanah ini lebih memfokuskan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan ruang bawah tanah disertai dengan belum adanya aturan tentang pengelolaan ruang bawah tanah.
Workshop yang terdiri dari dua sesi ini menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit, Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN RI, Abdul Kamarzuki, Direktur Prasarana BPTJ, Risal Wasal, Wakil Ketua Umum Bidang Tata Ruang, Properti, dan Properti Ramah Lingkungan Real Estate Indonesia (REI), Hari Ganie, BAPPEDA Provinsi DKI Jakarta, dan Institut Otonomi Daerah, Djohermansyah.
Dalam lokakarya ini Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar mengatakan, ada tiga kota yang menjadi studi banding ruang bawah tanah, yakni London, Hong Kong dan Shanghai. Ketiga kota ini memiliki jaringan kereta bawah tanah yang cukup sukses, baik itu sistem maupun pemanfaatan ruang bawah tanahnya.
“Zona terbuka dan zona jalur hijau lebih disarankan untuk pembangunan ruang bawah tanah di masa depan untuk menghindari perubahan guna atau akuisisi lahan. Menggabungkan kriteria geologi dan lingkungan untuk menidentifikasi plot lahan konstruksi terowongan serta kepemilikikan tanah menentukan dan memepelajari lebih rinci tanah pemerintah yang diprioritaskan saat ini sampai hak strata dan kriteria kedalaman dan untuk fasilitas Not In MyBack Yard,” jelas William.
Beliau juga menuturkan, PT MRT Jakarta sebagai selaku pihak yang dipercaya mengelola Transit Oriented Development (TOD), membutuhkan seperangkat aturan untuk memastikan bahwa pembangunan dan pengelolaan ruang bawah tanah benar benar bisa dilakukan dengan baik. Dan dengan pembangunan TOD nantinya dipastikan ada sejumlah potensi investasi dengan pihak swasta sehingga aturan soal pajak dan retribusi menurutnya harus diatur secara spesifik.
Ada tiga peraturan yang butuh penyesuaian terkait pengelolaan pemanfaatan ruang bawah tanah, yaitu Perda) tentang Pengelolaan Ruang Bawah Tanah yang sudah masuk Program Legislatif Daerah (Prolegda) 2018, Undang-Undang (UU) Pertanahan, dan revisi UU Nomor 29/2007 tentang Kekhususan Ibu Kota Jakarta yang baru masuk rancangan draft kedua. Seluruh rancangan Undang-Undang tersebut telah disampaikan ke Komisi II DPR RI.
Di akhir acara, Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar memaparkan kesimpulan hasil dari lokakarya yang terbagi dalam beberapa prinsip utama pengembangan kawasan TOD dan interkoneksi bawah tanah.
- Aspek payung hukum atau regulasi dan legalitas.
- Aspek pengelolaan dan pengorganisasian yang mengatur bagaimana posisi MRT seabgai operator transportasi massal dan operator utama pengelola kawasan TOD.
- Aspek teknis yang melakukan kajian dampak terhadap perubahan struktur kota dalam hubungannya dengan perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan perkotaan.
- Aspek yang bersinggungan langsung dengan MRT seperti pengelolaan pelayanan, penentuan jalur baru, utilitas umum yang semuanya harus segera dilengkapi dalam jangka waktu pendek, di tengah penyusunan regulasi yang ada.
- Aspek governance yang memberikan kesempatan untuk berbagi tanggung jawab antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sipil.
Post a Comment